Gambar pada laman utama situs perusahaan farmasi multinasional UMBRELLA Corporation. Perusahaan ini mengeluarkan pernyataan ambisius untuk membeli seribu wilayah desa di Indonesia untuk kepentingan laboratorium perintis dan bio-testing. Meski demikian, UMBRELLA juga berjanji untuk mengedepankan tanggung jawab perusahaan dengan bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan warga desa yang mereka beli. (photo taken from facebook fanpage.
HONG KONG, POS RONDA
– Perusahaan multinasional raksasa yang bergerak di bidang farmasi dan
bio-rekayasa, UMBRELLA Corporation, menyatakan keinginannya untuk
membeli lebih dari seribu wilayah desa di Indonesia.
Niat
Umbrella tersebut dikemukakan oleh Direktur Pelaksana UMBRELLA untuk
wilayah Asia dan Pasifik, Victorio Gionne, dalam sebuah konferensi pers
yang diselenggarakan di kantor UMBRELLA di Hong Kong, kemarin (2/12).
Rencana
pembelian seribu desa di Indonesia itu, berdasarkan pemaparan Gionne,
berfungsi untuk pendirian laboratorium-laboratorium perintis UMBRELLA
untuk penelitian lapangan. Dengan adanya laboratorium perintis ini, ia
berharap agar penelitian dan pengembangan obat-obatan untuk
kesejahteraan manusia bisa berjalan dengan lebih cepat.
“Ini
adalah bagian dari program tanggung jawab perusahaan kami. Rencana kami
di Indonesia tidak main-main dan kami serius. Dengan seribu desa,
jangkauan penelitian lapangan dan bio-testing kami bisa lebih
luas dan ini berkontribusi kepada pengembangan obat-obatan yang kami
rencanakan. Kami akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk kesejahteraan
warga desa. Kami akan dirikan klinik, sekolah, generator listrik,
fasilitas komunikasi, dan menyediakan hibah untuk usaha-usaha kecil
milik warga.” papar Gionne.
Ia melanjutkan, bahwa berdasarkan data yang ada terdapat sekitar 74 ribu desa di Indonesia, dengan 32 ribu diantaranya masih masuk kategori tertinggal.
UMBRELLA akan masuk di desa-desa dengan kategori tertinggal agar dampak
dari pembangunan laboratorium perintis bisa lebih besar dan nyata.
Berdasarkan
pengamatan koresponden POS RONDA, dalam daftar desa yang akan dibeli
banyak terdapat wilayah yang berlokasi di perbatasan dan tempat-tempat
terpencil. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai mungkin-tidaknya
pembangunan laboratorium perintis bisa dilaksanakan mengingat
keterbatasan infrastruktur yang ada. Meski demikian, Gionne mengatakan
dirinya tidak khawatir dan merujuk kepada pengalaman mereka sebelumnya.
“Jaringan
perusahaan kami sudah berpengalaman untuk membangun laboratorium
perintis di wilayah-wilayah terpencil dan minim infrastruktur.
Pengalaman kami mencakup beberapa dusun kecil di Spanyol, dan di Afrika Barat, tepatnya di zona otonomi Kijuju.
Dari data yang ada, operasi kami cukup berhasil di wilayah-wilayah itu.
Kami ingin Indonesia menikmati keberhasilan yang serupa.” ujar Gionne
dengan nada diplomatis.
Permasalahan
lain yang akan dihadapi oleh UMBRELLA adalah kemungkinan penolakan dari
pihak pemerintah dan masyarakat Indonesia. Bagaimana pun, upaya
perusahaan tersebut adalah untuk membeli seribu wilayah desa, bukan
sekedar investasi biasa.
Menanggapi
hal ini, Gionne kemudian menyebutkan semakin mudahnya regulasi di
Indonesia untuk investasi perusahaan asing. Ia mencontohkan bagaimana jasa kebandarudaraan sudah dikeluarkan dari daftar negatif investasi Indonesia.
“Kami akan
memulai secara bertahap. Agar lebih mudah menuju ke tempat-tempat yang
kami tuju, kami akan membangun bandara-bandara perintis sebagai bentuk
kesungguhan kami berkontribusi pada Indonesia. Ini sudah kami pikirkan
dan sesuai dengan regulasi investasi di Indonesia. Negeri Anda semakin
memberikan kemudahan berinvestasi bagi perusahaan multinasional seperti
kami, jadi kekhawatiran tersebut tidak ada. Tim kami sudah ada di
Jakarta sejak dua tahun lalu, baik yang bertugas untuk melobi eksekutif
dan legislatif, agar aturan-aturan yang menghambat investasi masuk bisa
dikurangi. Dengan ini kami optimis bahwa dalam jangka waktu 5 tahun ke
depan, kami bisa membeli seribu wilayah desa secara resmi dan legal.”
jelas Gionne optimis.
Dirinya
juga menambahkan bahwa UMBRELLA berniat baik untuk bersama-sama
memajukan Indonesia. Perusahaan tersebut bahkan berencana untuk
mengembangkan lebih dari 5 ribu usaha kecil, dan siap menggelontorkan Rp
600 milyar untuk kepentingan tanggung jawab perusahaan di tahap
pertama.
“Kami
setuju bahwa perusahaan yang berinvestasi di Indonesia juga harus
memberikan kemajuan bagi rakyatnya. UMBRELLA siap mengembangkan potensi
Indonesia di bidang obat-obatan dan farmasi melalui inovasi. Pesan kami
untuk Indonesia: kami tidak sabar untuk segera bekerja sama.” tegas
Gionne mengakhiri konferensi pers itu.
Desa Sei Limau, terletak di dekat perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Kategori desa-desa seperti inilah yang masuk daftar penawaran UMBRELLA
untuk dibeli dan pembangunan laboratorium perintis. (photo courtesy
batasnegeri.com)
Meski
UMBRELLA berjanji untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan warga dari
desa yang wilayahnya akan dibeli, pengamat politik Robertinus Siagian di
tempat terpisah menyatakan ragu atas tawaran perusahaan multinasional
tersebut. Menurut Robertinus, pemerintah secara etika tidak
diperkenankan menjual wilayah negerinya kepada perusahaan asing.
“Satu atau
dua petak tanah itu soal lain, masalahnya yang mereka tawarkan adalah
membeli seluruh wilayah desa, dan jumlahnya banyak sekali. Ini seakan
pemerintah menjual warganya juga apabila proses ini jadi dilakukan. Saya
harap pemerintah tidak akan takluk pada tawaran ini.” ujarnya saat
dimintai pendapat pagi ini di Jakarta (3/12).
Robertinus
tidak menampik pentingnya investasi asing. Menurutnya, itu diperlukan
dalam usaha pembangunan, apalagi idealnya memang harus ada kerjasama
antara triumvirat pihak pemerintah, swasta, dan civil society.
Meski
demikian, pemerintah harus pintar-pintar dalam menyeleksi modal asing
yang masuk ke Indonesia. Dalam kasus UMBRELLA, Robertinus mencium
keanehan karena perusahaan tersebut bermaksud untuk membuat laboratorium
obat dan farmasi di tempat-tempat terpencil.
“Menurut
saya, itu jelas aneh. Laboratorium obat dan farmasi biasanya berada di
tempat-tempat yang jelas dan terjamin infrastrukturnya seperti kawasan
industri dan bisa diawasi oleh regulasi pemerintah. Mendirikan fasilitas
tersebut di wilayah minim infrastruktur jelas tidak bagus dari business sense dan hukum. Seakan mereka tidak ingin diawasi apabila terjadi kesalahan.” papar Robertinus.
Kekhawatiran
Robertinus memang berdasar, karena menurut laporan dari organisasi
penegakan hak asasi manusia Saviors of the Hour, sepak terjang UMBRELLA
patut untuk dipertanyakan. Menurut laporan Saviors, perusahaan tersebut
sering terlibat dalam penelitian farmasi yang kontroversial dan disinyalir sering melakukan human-testing alias percobaan terhadap manusia.
Berdiri
pada akhir dekade 1960-an, UMBRELLA mulai dikenal sejak dasawarsa
1990-an saat terkuak bahwa perusahaan itu secara rahasia mengembangkan
senjata biologis melalui virus. Serangkaian insiden lain juga membuat
UMBRELLA makin terpuruk dan harga sahamnya terus jatuh hingga pada 2004
dinyatakan bangkrut.
Setelah lama tidak terdengar, perusahaan diketahui kembali aktif dua tahun terakhir. Saat terjadi kasus gigitan di Piala Dunia 2014 di Brazil,
nama UMBRELLA kembali mengemuka saat disinyalir menjadi salah satu
donatur utama bagi badan penelitian GRIDPEC yang menitikberatkan fokus
mereka pada kemungkinan fenomena zombie outbreak atau penyebaran virus zombie. (Sha01/jon1)
====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar